Sumbawa Masa Lalu, Kini Dan Akan Datang
Sebelum Indonesai merdeka,
bahkan sebelum penjajahan Belanda, Sumbawa dalam sejarah masa lalu
merupakan wilayah yang dipimpin oleh Sultan. Pengaruh kerajaan ini
hingga ke Goa, Sulawesi Selatan melalui penaklukkan kerajaan Goa dalam
sayembara menendang bola besi dengan peserta seluruh Kerajaan di
Nusantara pada saat itu.
Kerajaan Sumbawa juga memayungi Selaparang (Pulau Lombok,
sekarang), merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sumbawa yang disebut
dalam istilah "Kemutar empat." Bukti sejarah, sebagian penduduk di
Lombok Timur, Mataram merupakan keturunan dari Sumbawa yang ikut dalam
pembebasan Selaparang pada masa itu. Sejarah masa lalu tersebut telah
berlalu. Seiring dengan berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia,
maka Kesultanan Sumbawa masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan pada
akhirnya Sumbawa juga menjadi bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat
yang beribukota di Mataram.
Selaparang pada masa kepemimpinan Datu Selaparang. Kala itu ramai
orang yang ingin mendiami Selaparang, salah satunya anak Raja Karang
Asem (Bali) karena alasan dibuang oleh orang tuanya, maka ia diberi
tempat tinggal oleh Datu Selaparang. Namun Datu Selaparang tetap menjadi
pemimpin di rakyatnya, tak terkecuali bagi anak Raja Karang Asem. Dalam
titah Datu Selaparang mengingatkan anak Raja Karang Asem agar mengikuti
aturan yang berlaku di Selaparang.
Belakangan, anak Raja Karang Asem melakukan pemberontakan ke
Selaparang yang saat itu Selaparang masih dipimpin oleh Datu Selaparang.
Merasa daerahnya diinvasi oleh penduduknya sendiri, Datu Selaparang
akhirnya kembali ke Kerajaan Sumbawa untuk memberitahu kepada
saudaranya, yaitu Kesultanan Sumbawa untuk dapat membebasakan wilayah
kekuasaannya.
Dalam pada itu, Datu Selaparang mengingatkan saudanya jika daerah
kekuasaannya belum aman, Datu Selaparang tidak akan pulang ke wilayah
kekuasaannya, Selaparang (P. Lombok)
Titah tersebut ditindaklanjuti oleh saudaranya, Sultan Sumbawa,
Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I dengan membawa pasukan dari daerah
Kesultanan Sumbawa ke Selaparang untuk membebaskan wilayah Selaparang.
Sultan Jalaluddin Muhammadsyah I, wafat dalam pembebasan Selaparang.
Dalam wasiatnya, Sultan Jalaluddin Muhammmadsyah I, berwasiat agar
kepemimpinannya dapat dilanjutkan oleh saudaranya Datu Dollah dari Bima
atau Datu Taliwang, (sumber: Sumbawa Masa Lalu; L. Manca).
Setelah Indonesai merdeka, Sumbawa masa kini meninggalkan bekas
ketangguhan, kemurahan, solidaritas bahkan toleransi. Keterbukaan adalah
jati diri masyarakat Sumbawa yang tidak mengenal istilah nepotisme
bahkan dalam kompetisi keseharian, masyrakat terbiasa dengan kompetisi
sehat. Karakter tersebut menempatkan integritas kepribadian yang
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sejarah mencatat, berbagai daerah tertarik mendiami Kesultanan
Sumbawa, seperti dari kerajaan Sriwijaya Palembang, kini disebut
Pelampang (berasal dari kata Palembang). Banjar berasal dari Kalimantan,
Selayar dari Sulawesi, Mantar dari bangsa Portugal, Jawa dari Jawa.
Semua warna tersebut bercampur menjadi satu kesatuan bagaikan pelangi
yang senantiasa membawa kebahagiaan dan kedamaian di Tana Samawa (Tanah
Sumbawa).
Sumbawa yang sangat terbuka dan penuh toleransi merupakan daerah
yang nilai-nilainya dibangun atas dasar nilai moral. Semua orang yang
hidup di Tana Samawa merupakan orang yang sanggup menjunjung tinggi
moral diatas segala kepentingan. Tak pelak ketika pelanggaran moral
terjadi, dimana negara tidak lagi hadir maka hukum setempat akan
mengeksekusi.
Tindakan demikian merupakan bentuk dari tuntutan keseimbangan;
peran, pelayanan, persamaan derajat dan kesempatan dalam memelihara
keseimbangan Sumbawa secara menyeluruh. Kesempatan merupakan landasan
menuju penyatuan dan partisipasi aktif dalam memelihara Tana Samawa.
Perilaku kompetitif, tidak menempatkan masyarakat Sumbawa menduduki
peluang dalam perekrutan setiap kebutuhan negara. Sebut saja posisi di
Polri, TNI, dan lainnya. Masyarakat Sumbawa hanya sebagai penonton di
daerahnya, menerka sepak terjang penguasa, penerima mandat
memporakporandakan sendi-sendi kebhinekaan yang telah lama diabangun dan
diperkuat di Sumbawa.
Kejadian 22 Januari 2013 mengingatkan kita pada peristiwa tahun
1983 dalam pergulatan dengan etnis tersebut, bahkan pada tahun 1997 kota
Sumbawa juga lumpuh akibat perilaku oknum Kepolisian. Kejadian tersebut
menimbulkan korban.
Peristiwa 22 Januari 2013 merupakan bagian petaka yang harus
ditelan oleh masyarakat Sumbawa yang sepatutnya dapat dihindari jika
Polri dapat menerima dan duduk bersama keluarga korban dan memenuhi
jalan yuridis dan independen menuntaskan kasus tersebut. Nahas memang,
ketika rasa tidak percaya itu muncul dari mahasisiwa mewakili kaum
intelektual tidak direspon bahkan diabaikan apalagi melindungi, serta
merta tanpa ada komando dan rekayasa, kota Sumbawa luluh lantak akibat
kemarahan warga. Beberapa kejadian serupa di Sumbawa luput dari
antisipasi intelijen.
Warga tak berdosa ketakutan, kehilangan harapan untuk hidup.
Sembunyi dibalik daun-daun bahkan menitipkan raganya di tengah hutan
hingga jiwanya kosong menerawang, menengadah dan merasakan perihnya
hidup di Tana Samawa yang mengusung nilai-nilai Kebhinekaan.
Kedepan, cukuplah sudah Sumbawa membara, menangis dan porak
poranda. Harga mahal ini harus menjadi landasan setiap pemangku
kebijakan baik Pusat maupun Daerah. Memberi peluang dalam segala lini
kehidupan, persamaan layanan, hak dan kewajiban adalah jalan mulus
membangun, mempertahankan dan merawat Sumbawa yang Bhinneka Tunggal Ika,
karena lahirnya Islam, dianut sebagai agama resmi di Kerajaan Sumbawa
merupakan rahmat bagi seluruh sekalian alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar